Hutan Perhutani Jadi Lahan Jagung Malah Jadi Sumber Bencana di Tulungagung Selatan

 

Hutan Perhutani Jadi Lahan Jagung Malah Jadi Sumber Bencana di Tulungagung Selatan


Bencana alam dalam skala luas ini terjadi karena hutan di pegunungan selatan Tulungagung gundul nyaris tanpa tegakkan.

Bencana alam massif terjadi di wilayah selatan Kabupaten Tulungagung, mulai dari banjir, tanah longsor dan tanah gerak.

Hal ini diungkapkan aktivis lingkungan penerima penghargaan Kalpataru Penyelamat Lingkungan 2018, Karsi Nero Sutamrin.

Menurut Karsi, hutan-hutan telah dibabat habis untuk menanam jagung.

"Kasihan warga yang di bawah kena dampak bencananya. Sementara warga yang di atas ongkang-ongkang panen jagung dari lahan pembabatan hutan," ujar Karsi, Rabu (12/10/2022).

Namun yang terjadi saat ini hutan dibabat semata-mata untuk kepentingan ekonomi.

"Boleh menanam jagung dengan alasan perut petani. Tapi hutan wajib tetap dijaga untuk memberikan keseimbangan," ucapnya.

Setiap kali hujan turun warga di dataran rendah mendapat kiriman air dan lumpur dari gunung yang gundul. 

Karsi menegaskan, perlu ada keseimbangan alam, terkait fungsi hutan sebagai pelindung, sosial dan ekonomi.

Karena itu, Karsi meminta semua pihak, termasuk Perhutani untuk bertanggung jawab.

Sebab lahan-lahan yang dibabat dan diubah menjadi lahan jagung adalah lahan milik Perhutani.

Forkopimda Tulungagung harus memaksa Perhutani duduk bersama mencari solusi. 

Menurutnya, Perhutani yang punya data nama-nama penggarap lahan di wilayahnya.

Perhutani harus memanggil para penggarap itu untuk menegaskan kewajiban menjaga tegakkan pohon. 

Bencana ini terjadi karena tegakkan pohon justru dianggap pengganggu tanaman jagung petani.

"Kalau petani penggarap tak sanggup menjaga tegakkan, cabut haknya. Sudah saatnya bersikap tegas, kalau tidak bencana akan terus berulang," tegas Karsi.

Lebih jauh Karsi juga mengakui banyak seremoni reboisasi hutan di Tulungagung selatan. Namun kenyataannya, pohon yang katanya mencapai ratusan ribu itu tidak berbekas. 

Semua mati karena tidak dipelihara, atau sengaja dimatikan penggarap lahan karena mengganggu tanaman jagung.

"Coba cek pohon yang ditanam dalam seremoni tiga atau empat tahun lalu. Tumbuh apa tidak," tuturnya.

Menurutnya yang terpenting bukan sekedar jumlah pohon yang ditanam.

Namun konsistensi untuk menjaga dan merawatnya sampai besar.

Lebih baik satu atau dua pohon namun dijaga dan dipelihara hingga tumbuh besar, dibanding ratusan ribu pohon tapi tak tersisa.

"Tidak perlu seremonial, cukup tanam saja 100 pohon. Nanti biaya seremoni  dipakai untuk memelihara pohonnya sampai tumbuh dan besar," sindir Karsi.

Lebih jauh, Ketua Forum Komunitas Hijau Tulungagung ini mengungkapkan adanya jual beli lahan perhutani.

Lahan-lahan strategis di wilayah Gemah, Besuki dan zona Brumbun banyak dikuasai orang dari luar Tulungagung, sepeti Trenggalek dan Kediri. 

Tujuan utama Perhutani menggandeng Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) untuk menjaga hutan dan menyejahterakan petani dinilai sudah gagal.

sumber: tribun

Previous Post
Next Post